Sunday 17 May 2015

Cinta di Batas Iman (Kisah Cinta Zainab, putri Rosululloh S.A.W)


Zainab adalah anak tertua Rasulullah saw bersama Khadijah ra. Khadijah adalah janda yang dinikahi beliau ketika berusia 25 tahun. Saat itu Muhammad menjadi seorang saudagar bagi harta Khadijah. Sepanjang sejarah hidup beliau, Khadijahlah isteri yang paling banyak meninggalkan kenangan.
Khadijah adalah penyejuk hati beliau, bukan saja karena jasanya dalam perjuangan dakwah islam, namun dari Khadijahlah Muhammad saw memperoleh anak-anak yang dapat hidup menemani beliau hingga usia dewasa. Dan dalam diri Zainab tersimpan kenang-kenangan hidup Rasulullah saw secara lengkap.

Zainab tumbuh dewasa dalam suasana kedamaian. Seorang pemuda bernama Abul As menyuntingnya. Pemuda itu tidak asing lagi baginya, karena ia adalah anak Halah binti Khuailid, seorang kakak Khadijah.

Sebagaimana Khadijah, Abul As adalah seorang pemuda terpandang karena kedudukan, kekayaan, dan keturunannya. Muhammad saw menerima pinangannya dan kemudian menikahkannya.
Hari-hari bahagia dilewati Zainab dan suaminya. Abul As menyayanginya dengan sepenuh hati. Sedangkan Zainab merasa tentram di sisi suami yang setia dan sangat ulet dalam bekerja. Perjalanan rumah tangga mereka begitu mulus, nyaris tanpa tantangan, sampai suatu ketika.

SERUAN ISLAM MENGGEMA.
Saat itu Abul As tengah pergi berniaga ke luar kota hingga beberapa saat lamanya tidak berada di Makkah. Tiba-tiba terjadilah sebuah peristiwa besar yang sangat bersejarah bagi kehidupan ummat manusia, apalagi bagi diri Zainab. Ayahnya, Muhammad saw menerima wahyu pertama. Beliau menjadi seorang Nabiyullah penyeru islam dan penyambung risalah Nabi-Nabi sebelumnya.

Zainab seketika beriman kepada seruan ayahnya yang sangat dicintainya mengikuti jejak ibunda dan saudara-saudara
nya yang lain. Betapakah ia tidak mengikuti seseorang yang telah dikenalnya begitu dalam mengenai kejujuran, ketinggian akhlak, kasih sayang dan keteguhannya? Zainab menjadi seorang muslimah pertama dalam sejarah perjuangan Islam.

Dalam suasana dunia yang telah berubah total itulah datang suaminya dari berniaga. Abul As merasa heran atas perkembangan yang terjadi pada diri mertua, bibi, dan isterinya. Ia tidak menyangka perubahan-perubahan itu begitu cepat terjadi. Dan ternyata ia mendapati dirinya tidak siap menerima perubahan itu.
Zainab berupaya menyadarkan suaminya bahwa tiba saatnya untuk mengubah aqidahnya yang selama ini telah tersesat.
"Demi Allah ... Zainab. Aku tidak menuduh ayahmu dengan tuduhan yang jelek. Aku takut jika aku mengikutinya, aku akan dihina oleh keluargaku. Aku akan dikatakan pindah dan meninggalkan agama nenek moyangku karena terpengaruh dan tunduk kepada isteriku," kata Abul As.

MASA KEPEDIHAN.
Kedatangan Islam melahirkan benderang dalam kalbu Zainab, namun membawa mendung bagi hubungan perkawinannya. Berat perjuangan Zainab untuk mengubah sikap suaminya. Zainab menyadari tanpa masuk Islam tak mungkin Abul As akan mampu memberi ketenangan lagi baginya, betapapun ia begitu mencintainya.

Kebekuan hati Abul As makin menjadi-jadi tatkala Islam mulai disebarkan secara meluas mendapat tanggapan demikian keras dari kaum Quraisy. Penyiksaan, penghinaan dan pengusiran dilakukan kepada mereka yang berani memeluk agama tauhid itu. Kaum Quraisy menyebarkan teror dimana-mana. Hati Abul As semakin kecut.
Zainab dan suaminya pun tak terhindar juga dari kekejaman orang-orang Quraisy. Mereka merasakan penderitaan selama berpuluh bulan tatkala pemboikotan umum terjadi terhadap Bani Hasyim. Namun Abul As tak juga tersentuh hatinya, padahal ia menyaksikan keteguhan kaum muslimin dalam menerima cobaan tersebut. Ia tetap bersikap seperti Abu Thalib.

Ketika pilihan terbaik dibukakan Allah SWT kepada kaum muslimin, tak ada jalan lain Rasulullah saw memerintahkan para pengikutnya untuk hijrah ke Habasyah dan kemudian ke Madinah. Inilah pilihan sulit yang dihadapi Zainab. Disatu sisi ia terikat dengan perkawinannya, pada sisi lain ia sesungguhnya menyertai ayahnya, Rasulullah saw dan saudara-saudara
seimannya pergi ke tempat yang menjanjikan masa depan itu.

Hari-hari pedih melingkupi Zainab. Ia harus hidup di tengah-tengah kaum kafir bersama seorang suami yang begitu ragu-ragu menerima kebenaran. Ia senantiasa berdo'a kepada Allah SWT agar semuanya ini bisa berakhir.
Penduduk Makkah gempar. Kafilah dagang Abu Sofyan dihadang kaum muslimin di Badar. Maka mereka pun segera menyiapkan pasukan besar untuk menghadapi Muhammad saw dan pengikutnya. Di bawah pimpinan Abu Jahal rombongan Quraisy meninggalkan Makkah dengan semangat tinggi untuk menghabisi kaum muslimin. Zainab tertunduk sedih, sebab Abul As adalah salah satu dari rombongan itu. Kepada keselamatan siapakah ia harus berdo'a? Suaminya atau ayahnya? Mereka berdua akan bertemu di Badar.

Berita menyedihkan terdengar diiringi isak tangis wanita-wanita Makkah. Kaum Quraisy dihancurkan di Badar. Mereka banyak kehilangan nyawa, apalagi harta benda.

Zainab terhenyak tatkala mendengar suaminya tertawan. Apa yang harus dilakukannya? Zainab kemudian mengutus orang ke Madinah untuk menebus suaminya dari tawanan. Dikirimnya biaya tebusan berupa uang serta seuntai kalung pemberian ibunya, Khadijah ... ketika ia menikah dengan Abul As.

Rasulullah saw menitikkan airmatanya melihat kalung tersebut. Tidak saja mengingat penderitaan anaknya yang tertahan di Makkah, namun juga beliau teringat kepada Khadijah, isteri yang sangat setia mendampinginya selama awal-awal dakwah yang berat itu. Para sahabat membebaskan Abul As dan mengembalikan kalung tersebut.
Abul As tiba kembali ke Makkah menemui isterinya. Zainab menerima suaminya dengan kegetiran, sebab ia belum juga tersentuh dengan keimanan.
"Aku membawa pesan dari ayahmu," kata Abul As ketika menjumpai Zainab. Rasulullah saw memerintahkan Zainab untuk meninggalkan suaminya, karena perbedaan keyakinan di antara mereka berdua belum juga berakhir. Haram bagi Zainab untuk tetap meneruskan hubungan pernikahan dengan suaminya yang kafir itu.

Zainab telah kehilangan harapan pada suaminya. Ia pun menyiapkan perbekalan hendak meninggalkan Makkah, padahal saat itu ia dalam keadaan mengandung. Sendiri dalam perjalanan yang begitu jauh menempuh padang pasir tandus adalah penderitaan yang amat dahsyat bagi seorang wanita. Di perjalanan kaum Quraisy melakukan teror hingga Zainab tiba di Madinah dalam keadaan begitu payah.
Waktu berlalu dengan kegetiran. Zainab senang berkumpul kembali dengan Rasulullah saw dan saudara-saudara
seiman. Namun kadangkala ia masih teringat juga pada suaminya ... hingga suatu saat Abul As dicegat kaum muslimin dalam perjalanan dagangnya dari tanah Syam. Ia berupaya meloloskan diri dan berhasil menyelinap ke Madinah. Ia meminta perlindungan Zainab. Zainab melaporkan kepada Rasulullah saw bahwa ia telah memberikan perlindungan kepada Abul As.

Syukurlah, Abul As kemudian bersedia masuk Islam. Inilah saat-saat yang dinantikan Zainab setelah bertahun-tahun dan untuk itu ia telaah banyak menderita. Ya, dalam perjalanan ke Madinah ia sempat keguguran akibat siksaan orang-orang kafir. Kesehatannya pun menurun drastis sejak saat itu.

Zainab dan Abul As kembali menjalin ikatan perkawinan dalam sebuah mahligai baru, Islam. Namun kebahagiaan itu hanya berlangsung beberapa bulan saja. Kesehatan Zainab demikiam buruk, hingga akhirnya ia menghembuskan nafas yang terakhir.

Percintaannya begitu berliku-liku. Namun Zainab berhasil juga menggapai dan mereguk percintaan yang hakiki, meski ia harus mendahului sang suami untuk menghadap Ilahi....
*TAMAT

Allahumma sholli alaa sayyidina Muhammad. :)
Cinta di Zaman Nabi.
____
Semoga Bermanfaat Sahabat. :)

No comments:

Post a Comment